Ilustrasi oleh Nura Winston, 2017.

Kolase Plastik

sebuah cerita pendek.

Yusuf Rizaldi
11 min readNov 10, 2017

--

AKU telah mencintai dia, yang berbagi darah denganku, ketika kami masih saling berdekap-rangkul dalam rahim merah ibu kami. Beliau mati delapan tahun sesudah melahirkan kami dan delapan tahun kemudian, ayahku bunuh diri: lebur bersama api yang membakar hangus rumah kami, malam itu. Tak ada yang tersisa. Segala lenyap. Tapi kami selamat — hanya aku dan dia — dan hanya itu yang penting; baik sekarang, dulu dan selamanya.

Kami yang sebatang kara kemudian dilayat nama-nama yang mengaku diri ‘sanak keluarga’. Dia tak pernah mengenal mereka dan bagiku mereka semua sama saja — sekadar maneken rakitan pabrik berjantung plastik sedingin langit pagi yang kala itu kelam dan bau hujan.

Mereka datang dengan payung-payung, jas-jas hitam, dan topeng-topeng duka: bicara seakan iba soal alangkah tragis nasib kami yang kini tak punya siapa-siapa, tapi itu omong kosong dan sampah belaka — boneka tidak berdarah, tidak bernadi, tidak akan mengerti tentang berapa harga kehilangan ayah bagi kami karena bagiku sendiri ayah tak pernah betul-betul mati. Atau hidup. Itu menurutnya.

Dia membenci ayah. Dia bilang, ayah adalah maneken tanpa dalang: dengan benang tergunting putus saat jasad ibu terpancung tonggak nisan. Dan sejak itu, ayah rusak.

mereka

Kami yang sebatang kara kemudian memutuskan tinggal di sebuah flat di tengah kota milik ayah — masih milik ayah — bahkan ketika sanak keluarga kami melepas topeng hingga wajah mereka akhirnya tampak: kartu kredit, kalkulator, mesin kasir dan kertas saham, yang mana badan ayah mereka bongkar dan belah bagai celengan hingga uang koin berhambur deras, keras dan dingin seperti hujan yang tumpah pada malam ketika mereka membuang dan meninggalkan kami di sana (semoga untuk selamanya.)

Aku pernah ke sana sekali, sebelas tahun lalu. Tidak ada yang berubah — ada pun, ingatan dan kepedulianku telanjur memburam hilang. Gedung flat itu berwarna putih terang dengan gaya arsitektur Bauhaus dan berlantai empat, masing-masing dua unit. Kami tinggal di unit terakhir: sepetak ruang berkamar empat (ruang tidur-tamu-mandi dan dapur) seluas 32 meter persegi yang belum pernah dihuni sebelumnya dan entah kenapa, berbau seperti rumah sakit.

Kami mewarisi gedung flat itu beserta para penyewanya. Seperti sanak keluarga kami, mereka semua boneka — kami mengenal mereka sebatas ada; begitu pula sebaliknya.

Dia tak pernah merasa nyaman ketika berpapasan dengan mereka. Rasanya janggal dipandang dan disapa oleh sesuatu yang menyerupai tetapi bukan manusia, dan lebih janggal lagi berpura-pura tertipu oleh kedok mereka.

Kami hanya keluar dari flat jika itu betul-betul diperlukan dan hanya ketika gedung telah sepi untuk menghindari orang-orang, dan setiap kali pulang, kupastikan sebelas gembok di pintu masuk telah terpasang rapat.

R/

No. : 11

Tgl. : 8/8/11

Dr. : R(tidak terbaca)

Pasien : (tidak terbaca)

Usia : (tidak terbaca) thn.

R/ Cy(tidak terbaca)terone acetate 50 mg (tidak terbaca) S 2 dd1 det.

R/ Estra(tidak terbaca)ol 4 mg No. C (tidak terbaca) det.

R/ (tidak terbaca)

R/ leu(tidak terbaca)lide (tidak terbaca)

R/ Temazepam 30 (tidak terbaca; mg?) q.s.

Obat (tidak terbaca) persetujuan dokter.

dia

“Hei,” bisiknya.

“Hei,” bisikku.

Larut malam. Aku dan dia berbaring telentang di atas ranjang flat yang tertelan kegelapan — agaknya, listrik telah padam sedari kami datang.

Bunyi hujan terdengar lemah di telinganya, berderau menimpa kota, menyapu tanah; terjun pada jalan-jalan beraspal lengang selagi lenguh sirine bergaung dari palang kereta api yang perlahan turun serta berdesah sayup-samar,

sedang telingaku hanya mendengar tarikan napasnya.

“Aku takut,” katanya.

“Dengan apa?”

“Tempat ini. Orang-orang — para maneken itu,” dia menggigit bibirnya sejenak. “Mereka membuatku takut.”

“Ya.”

“Aku tidak ingin melihat mereka,” katanya. “Aku tidak ingin mereka melihatku.”

“Mereka tidak perlu melihatmu,” kataku. “Kamu ….”

Suatu rasa amis mendadak luluh dan mengendap dalam mulutku, hingga kata-kata yang ingin kukatakan — yang seharusnya kukatakan — menjadi larut bersama racun.

Dia tersenyum.

“Ya,” katanya. Dia mengulurkan tangan. Jemarinya yang dingin dan gemetar bergelung menyelimuti tanganku pelan seolah, dengan itu, dia bisa merasa sedikit lebih hangat.

“Maaf,” katanya. “Maafkan aku.”

Aku tak menjawab. Mataku memandang langit-langit kamar yang kini mulai remang.

“Hei,” bisikku.

“Hei,” bisiknya.

Langit-langit kamar itu tampak luntur memudar, dengan cat pada gipsum yang putih mengelupas seperti kulit terbakar, lelehan tulang — aku memejamkan mataku dan, dengan gumam lirih yang nyaris tak terdengar: aku bertanya padanya,

“Menurutmu,” kataku. “Apa kita bisa bahagia sekarang?”

Dia meremas tanganku erat-erat.

maneken

Pada suatu malam, aku bermimpi dan menemukan diriku sebagai sebuah maneken dengan benang-benang tergunting — tidak berdarah, tidak bernadi, tidak berhati, tidak bergerak; dan dalam kesengsaraan yang senyap itu, aku merasakan diriku yang terkuras dari perasaan berdosa.

Ketika aku terbangun, aku menemukan diriku di atas ranjang dan kembali menjadi manusia. Di sampingku, dia tertidur dan tangannya menjalin tanganku bagaikan benang merah yang dipintal dari darah.

(aku meremas tangannya erat-erat sebab jika aku melepaskan tangannya saat itu aku takut aku akan mencekiknya sampai mati.)

benang

Ayah meremas tanganmu erat-erat; jemarinya mengulum jemarimu selagi kamu duduk dan dia berlutut di hadapanmu yang mengenakan gaun pengantin milik ibu, delapan tahun lalu.

“Sayang,” kata ayah. Tersenyum. “Aku pulang.”

Ayah mencintai kamu. Ayah bilang, kamu adalah bakal replika dari ibu: dengan rangka terpahat nyaris seperti ibu di usiamu. Dan sejak itu, kamulah dalang ayah.

“Kenapa diam?” kata ayah. Mencengkeram mendesak — kukunya tanpa sadar mencakar kulitmu dan menyisakan cacat (berhari-hari kemudian, kamu menyembunyikan cacat itu dari ayah dan mengingat letaknya ketika ia hilang.) “Ah. Kamu ngambek, ya?

“Maaf. Di rumah sakit tadi, ada operasi mendadak ….”

Kamu adalah nama yang kuberikan padamu karena ayah bilang ibu tidak pernah mati. Tidak, yang pergi hanya aku: lenyap terputus bersama album foto, lembar rapor, buku gambar, spidol dan krayon lilin. Maka jerat per jerat, dan benang demi benang — aku menggunting segala hal yang bukan milikmu. Yang tak ada padamu, yang tak perlu ada untukmu,

sedang aku tidak pernah lahir.

ngengat

“Apa ini?”

Aku meremas tangannya dan menariknya dekat-dekat hingga mataku dapat jelas melihat cacat (cacat memualkan cacat menjijikkan) pada jemariku yang lebih panjang tepatnya delapan milimeter lebih panjang dari jemarinya — “apa ini?”

Dia tak menjawab.

Seekor ngengat berdengung dan merangkak dari langit-langit kamar: sekarat. Sayapnya kering berserak-serak.

badan

jari ibu lebih panjang lebih panjang dari jarimu
ayah menangis dalangnya belum sama
maka kupotong jarimu agar ayah bahagia

kulit ibu lebih terang lebih terang dari kulitmu
ayah menangis dalangnya belum sama
maka kukupas kulitmu agar ayah bahagia

mata ibu lebih gelap lebih gelap dari matamu
ayah menangis dalangnya belum sama
maka kutusuk matamu agar ayah bahagia

terakhir adalah darahmu
yang tumpah kala ayah merangkul ibu malam itu
dan ayah pun bahagia
terisak bahagia
matanya basah
di seprai bertetes merah
kami menangis. Dan tak paham mengapa

ibu

“Jadi, ibu enggak pulang lagi?”

Dia duduk dipangku ayah dan memandang ibu yang terbaring di samping kursi mereka, di atas bangsal berseprai bersih, di ruang inap. Tidak ada orang lain di sana selain mereka bertiga dan jarum jam di dinding ruang yang berwarna putih itu kini menunjuk pukul lima petang.

Ibu beringsut mendekat dan membelai kepalanya. Tersenyum — menjawab lemah-pelan. “Ibu belum bisa pulang.”

Dia menunduk dan membungkam sesekian saat.

“Oh.

… karena adik lagi?” katanya, sambil menggulung-gulung ujung bajunya dengan jemari tangan.

Ibu mengangguk.

“Ya,” kata ibu.

“Ayo. Belajar sabar,” ayah memijit-mijit pundaknya. Entah kenapa, dia merasa bahwa tangan ayah begitu layu — lebih layu dari tangan ibu. “Kamu kan, bakal jadi kakak nanti.”

Dia meraih tangan ibu dan meraba tangan itu lambat-lambat. Tangan ibu berwarna pucat, sedingin plastik, dan di lengannya selang-selang bening menghunjam kulit seperti benang pada maneken. Dia tidak menyukai itu. Ibu bukan boneka. Bukan dia.

“Ya,” katanya. Dari jendela, cahaya oranye-merah terbias gelap menembus kaca.

Seorang suster melangkah masuk ke ruang opname.

“Dokter. Sudah waktunya.”

“Oh. Ya,” kata ayah tanpa menoleh pada suster. “Ya.”

“Jangan khawatir,” ibu balas memandang ayah. “Kamu selalu … terlalu keras dengan dirimu sendiri.”

Ayah tertawa lirih.

“Aku tahu.”

“Ada aku, dan … kakak juga, kan?” kata ibu. “Semuanya akan baik-baik saja.

Tapi, apa pun yang akan terjadi nanti,”

Aku melihat ke luar jendela. Di langit yang robek itu matahari bulat terbenam; darah keruh dan pekat merembes pelan, merah, pedih, kental — merembes detik demi detik dan mencekik serta menekan seperti gerogot penderitaan dari sayat silet dan pisau yang mengoyak-ngoyak tajam,

“Berjanjilah padaku bahwa kalian akan baik-baik saja.”

hingga segala senyap — dan langit tertelan hitam.

“Berjanjilah padaku bahwa kalian akan dapat bahagia selamanya.”

plastik

Pagi datang, dan matahari kelabu menyala redup menyorot celah-celah sekat kaca berembun bekas hujan. Membuka matanya yang masih berat, dia menoleh ke samping ranjang. Tidak ada siapa-siapa di sana.

Dia bangkit dari ranjang dan berjalan ke wastafel kamar mandi dan mencuci mukanya.

“Sudah bangun?”

“Oh. Hei,” dia tersenyum tanpa menoleh memandangku. “Jam berapa sekarang?”

“Hm. Entahlah … masih pagi, yang jelas,” kataku. “Aku lapar.”

“Kamu mau makan apa?” tanyanya. Apa saja boleh, jawabku. Memang adanya apa?

Um. Sup kaleng. Kornet … makerel?

Lagi? kataku. Katamu, apa saja boleh, katanya. Ya, kataku. Kalau boleh, sesekali jangan makanan instan, sih.

“Kau tahu jika aku juga tak pernah menyukainya, kan?”

Ada jeda sejenak sebelum dia melanjutkan bicara.

“Andai aku … andai aku bisa, aku pun ingin memasak hal-hal lain untukmu — semua masakan yang kamu suka, dan semua masakan yang kamu … mau. Tapi,” katanya. “Tapi, ketika aku pergi. Ketika aku keluar dari kamar ini, aku — aku selalu merasa jika mereka semua … mata-mata itu selalu melihatku dan aku akan — ”

Aku mengulurkan tanganku dan memegang tangannya.

“Maaf,” kataku lantas menghela napas. “Aku … bukan itu maksudku.”

Dia menarik tanganku, yang masih memegang tangannya, dan menarik tanganku melekat ke pipinya. Terpejam. Wajahnya yang dingin dan basah menyentuh punggung tanganku.

“Maafkan aku.”

“Itu bukan salahmu,” kataku. Tak pernah salahmu. Dan bagaikan sebuah mantra yang selalu dan selamanya kuhafal — aku mengulangi kalimat itu berkali-kali, lagi dan lagi, hingga akhirnya dia kembali tenang dan dapat memaafkan dirinya sendiri (telah sedari kapan kami mulai melakukan ini?)

“Suatu saat nanti. Aku janji,” katanya.

“Aku tahu,” kataku. “Tapi … kalau kamu belum sanggup, jangan memaksakan diri.

Kamu selalu terlalu keras dengan — ”

Aku tertegun. Entah kenapa, aku merasa pernah mengucapkan kata-kata itu; kata-kata eksak yang sama dan yang pernah diucapkan olehku (siapa?) kepada (siapa?) ketika (kapan, kapan, kapan?)

Dia tertawa lirih. “Aku tahu.”

“Hah?”

“Kamu mau sup tomat, atau krim jamur?”

“O-oh,

Ya,” aku berkata seraya membuang pandanganku darinya. “Sup … sup jamur boleh juga.”

Dia tersenyum, dan mengecup lembut keningku.

“Tunggu, ya.”

Seperti biasa: kami berdua bersarapan di ruang tamu, pada meja kopi berwarna hitam dari kayu yang menghadap televisi. Televisi itu tidak pernah menyala (kami tidak menyukai suaranya.) Ada beberapa buku yang bertumpuk baik di atas juga di kaki meja; dan pada dinding ruang tamu tampak sebuah jendela lebar berkaca tunggal dan setengah tersingkap oleh tirai abu-kebiruan dan dari jendela itu, kami dapat melihat bayangan kota yang pagi itu dingin serta tersaput kabut tebal.

Usai menyuci alat makan, kami biasa kembali ke ruang tamu dan mengerjakan hal-hal acak untuk membunuh waktu (kami harus membunuhnya) hingga malam tiba: hari ini, kami membunuhnya bergiliran dengan menggambar-gambar asal di lembar buku sketsa.

“Gajah,” katanya.

Aku menggambar seekor gajah kecil yang berdiri di tengah padang putih dan menyerahkan penaku padanya.

“Laut,” kataku.

Dia menarik satu garis lurus memanjang dengan penanya hingga padang putih itu terbelah menjadi dua. Gajah kecil tenggelam.

“Ups,” ucapnya sambil menggambar kontur-kontur gelombang yang berbuih menyisir laut. Lantas, aku menuang tinta ke bidang hampa di atas horizon sebagai langit dan menambah bintang-bintang: kilaunya yang cemerlang tecermin di permukaan lautan dan tampak seperti serpih intan-intan yang pecah; yang mengambang terempas riak.

Bagus juga, katanya. Apa lagi sekarang? kataku. Sesukamu saja, katanya. Maka aku menggambar sebuah bunga teratai besar, dengan kelopak lebar dan tipis berwarna gading terkelupas.

Sendiri, ia mengapung di lautan.

Itu terlalu menyedihkan, katanya.

Kenapa demikian? Kamu tidak bersedih ketika gajah yang kugambar tenggelam, kataku.

Aku tidak bersedih karena ia bisa tenggelam. Lebih baik tenggelam daripada hidup sendirian, kan?

Kamu bisa menggambarnya lagi.

Bukan itu yang kamu minta. Kamu tidak menginginkan itu.

Dan berarti, itulah takdirnya.

Tapi, teratai itu. Ia akan mengapung di laut selamanya.

Ya.

Ia mirip denganmu (dia tersenyum murung.)

Kemudian, dia menggambar aku di atas bunga teratai itu.

Inikah yang kamu inginkan?

Dia memberikan penanya — dan di atas bunga teratai itu, aku menggambar dia,

maka aku memahat tubuhnya (dia membelai tanganku selagi aku menggambar.)

aku meraut rusuknya (berbisik lirih, dia terpejam,)

aku mengukir
dagunya (kita harus mengakhiri ini.)
pipinya (kamu harus berhenti.)
bibirnya (kamu tidak perlu menderita lagi.)
matanya (kumohon — berjanjilah padaku jika kita — jika kamu,)

tetapi laut yang berdesir menghanyutkan suaramu sehingga aku tak dapat mendengarnya. Maka aku tetap menggambarmu,

tetapi ketika gambarku selesai dan aku menengadah untuk melihatmu, aku tak menemukan siapa pun di sana kecuali sebuah maneken rusak yang gagal menjadi dirimu — maka, di atas bunga teratai yang mengapung selamanya di laut itu aku menerjang tubuh dan mencekik dan mencekik dan mencekik lehermu (karena aku cuma sebuah maneken rusak yang gagal menjadi dirimu, kan?) agar kamu mati, dan aku akan dapat tetap menggambarmu lagi.

Maka aku tetap menggambarmu.
Menggambarmu.
Menggambarmu.
Menggambarmu.
Menggambarmu.

… siapa kamu?

kannon

maka ketika Kannon bersumpah untuk tidak beristirahat sebelum dia dapat membebaskan alam semesta dari sengsara dia pun bekerja siang dan malam demi menuntaskan sumpahnya namun sadarlah Kannon kemudian bahwa jiwa-jiwa yang menderita serta tak bahagia ini sejumlah debu di jagat raya dan karena tak kuasa menanggung beban seberat itu kepalanya pecah berkeping-keping tetapi Buddha Amitābha yang mengetahui segalanya lantas memberikan Kannon sebelas kepala serta seribu lengan dengan sebuah mata di tiap telapak tangan agar dia dapat melihat siapa pun yang terluka dengan matanya agar dia dapat menyelamatkan siapa pun yang menderita dengan tangannya supaya mereka berhenti menderita supaya mereka tak lagi menderita supaya mereka bisa bahagia bahagia bahagiabahagiabahagiabaha

kami

Muntah asam menghimpit naik ke corong tenggorokan, tumpah pada wastafel yang wadahnya kucengkeram erat, napas memburu, berkeringat: keran kubuka lebar. Bunyi deras menerpa bahan keramik keras, membekap batuk dan erang.

“Berhentilah,” kataku. Tangan menggigil, mencakar. “Tolong. Kumohon.”

“Aku harus melakukannya — harus.”

Dia mendongak dan memandang cermin yang memantulkan wajahnya sendiri: wajah yang indah, wajah yang cantik, wajah yang kucintai.

“Jika tidak, kita akan menjadi boneka,” kataku.

“Jika tidak, segalanya akan sia-sia.”

Matanya basah. Merah. Pada tangannya yang tak mencengkeram tepi wadah, sebilah pisau tergenggam.

“Itu cuma jari!” katanya. “Apa artinya sebuah jari?”

Sebuah boneka memiliki cacat; manusia tidak.

Seperti ibu. Ibu manusia. Ibu tidak bercacat. Tapi kita. Dia. Cacat. Rusak. Bukan ibu. Sampah. Dan karena itu aku gagal, gagal, gagal,

“Kamu harus berhenti.”

Kita tidak perlu melakukan ini lagi — apa artinya, sekarang?

Ayah. Ibu. Mereka sudah—

“ — Aku tahu! Dan karena mereka telah mati — ”

Apa artinya, sekarang?

Aku tahu. Selalu tahu. Dalam hatiku, aku telah menyadari semuanya dan selalu … pada setiap kali aku menyadari bahwa sejak awal sandiwara ini tak pernah berarti, rasa amis yang familiar itu akan kembali menyeruak dan merendam lidahku — tapi. Tapi, kenapa benang-benang itu masih tampak? Kenapa benang-benang merah itu masih dan masih dan masih menjerat — ah? Apa … apa maksudnya? Menjerat. Ah? Menjerat — ya, siapa? Siapa? Siapa? Siapa siapasiapasiapatuhantuhan kumohon berhentilah merobekrobek kepalaku ayah ibu ibu maafmaafmaafmaafmaaf

“Kamu. Kamu sudah janji, kan …?” Suaranya pecah, bergetar. Bukankah … bukankah kamu sudah berjanji, bahwa sekarang, kita akan — dan bisa bahagia?

Dari balik cermin, aku memandang wajahnya yang memantulkan wajahku sendiri: wajah yang cacat, wajah yang gagal, wajah yang tak sempurna — lantas, bibirku berkedut dan setangkai senyum pun perlahan mekar menjadi tawa; sebuah tawa terhadap satu-satunya emosi yang selamanya bergentayang pada diriku dan dirinya karena sejak kapan kami bisa memilih untuk tidak merasa bahagia?

Hanya ini cara yang kutahu supaya kita berhenti menderita.

Dia tertegun. Pada mataku yang merah dan basah, air mata meleleh luruh.

Andai aku sempurna, aku bisa menyelamatkan kamu.

Diraihnya selembar handuk kecil yang digantung dekat wastafel — menggigit menyumpal mulut sepasang mata terpejam, dan air keran yang berderau terjun meredam suara-suara semu, suara-suara palsu, suara-suara plastik. Kuangkat pisau. Bilahnya yang licin dan dingin menyisir ruas telunjukku.

Ibu akan hidup kembali. Dan ibu akan melahirkan kamu. Andai aku sempurna, aku bisa menyelamatkan semuanya. Dan aku akan bisa membuatmu bahagia,

“Kumohon — kuburlah aku.”

aku akan bisa mencintaimu karena kamu akan benar-benar ada. (*)

Bandung, 2017.

--

--

No responses yet